Kamis, 06 Juni 2013

MANAJEMEN KELAS UNTUK ABK (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS)


Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus yang memiliki karakteristik berbeda antara satu dengan yang lainnya. ABK terdiri atas beberapa kategori. Kategori cacat A (tunanetra) ialah anak dengan gangguan penglihatan, kategori cacat B (tunawicara dan tunarungu) ialah anak dengan gangguan bicara dan gangguan pendengaran. Kategori ini dijadikan satu karena biasanya antara gangguan bicara dan gangguan pendengaran terjadi dalam satu keadaan, kategori cacat  C (tunagrahita) ialah anak dengan gangguan intelegensi rendah atau perkembangan kecerdasan yang terganggu, kategori cacat D (tunadaksa) ialah anak dengan gangguan pada tulang dan otot yang mengakibatkan terganggunya fungsi motorik, kategori cacat tunalaras ialah anak dengan gangguan tingkah laku sosial yang menyimpang, kategori anak berbakat ialah anak dengan keunggulan dan kemampuan berlebih (IQ tinggi), dan kategori anak berkesulitan belajar ialah anak dengan ketidakberfungsian otak minimal.
MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI KELAS BAGI TUNANETRA
Tunanetra adalah seseorang yang memiliki Hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan.
1.      Alat Pendidikan
Alat pendidikan bagi tunanetra terdiri dari : Alat pendidikan khusus, alat Bantu peraga dan alat peraga.
a.     Alat Pendidikan Khusus :
*      Reglet dan pena
*      Mesin tik Baille
*      Printer Braille
*      Abacus
b.     Alat Bantu
*      Alat bantu perabaan (buku-buku, air panas/dingin, batu, dsb)
*       Alat Bantu pendengaran (kaset, CD, talkingbooks)
c.     Alat Peraga
Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran.(patung hewan, patung tubuh manusia , peta timbul)
2.      Low Vision
Alat Bantu pendidikan bagi anak low vision terdiri dari alat Bantu optic, alat Bantu kacamata, kaca mata pembesaran dan alat peraga.
a.     Alat Bantu Optik : 
*      Kaca mata
*      Kaca mata perbesaran
*      Hand magnifer
b.     Alat Bantu
*      Kertas bergaris besar
*       Spidol hitam
*      Lampu meja
*      Penyangga buku
c.     Alat Peraga
*      Gambar yang diperbesar
*      Benda asli yang diawetkan
*      Patung / benda model tiruan


3.      Tenaga Kependidikan
Tenaga Kependidikan yang dibutuhkan antra lain :
a.     Guru
b.     Psikolog
c.     Dokter mata
d.     Optometris

4.      Layanan Pendidikan
a. Jenjang Pendidikan dan lama pendidikan :
1)     TKKh/TKLB : 3 tahun
2)     SDKh/SDLB : 6 tahun
3)     SMPKh/SMPLB : 3 tahun
4)     SMAKh/SMALB : 3 tahun
b. Model Pendidikan
1)     Pendidikan Inklusif
Pendidikan Inklusif adalh pendidikan pada sekolah umum yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa yang memerlukan pendidikan khusus pada sekolah umum dalam satu kesatuan yang sistemik.
Kurikulum yang digunakan pada pendidikan inklusif adalahkurikulum yang fleksibelyang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
2)     Pendidikan Khusus (SLB)
Pendidikan Khusus (SLB) adalah lembaga pendidikan yang menyeleng-garakan program pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

3)     Guru Kunjung
Model guru kunjung dilakukan dalam upaya pemerataan pendidikan bagi anak tunanetra usia sekolah. Model ini diberlakukan dalam hal anak tunanetra tidak dapat belajar di sekolah khusus atau sekolah lainnya karena tempat tinggal yang sulit dijangkau, jarak sekolah dan rumah terlalu jauh, kondisi anak tunanetra yang tidak memungkinkan untuk berjalan, menderita berkepanjuangan , dan lain-lain.

MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI KELAS BAGI TUNARUNGU

Ø  Desain Kelas
Ruang kelas SLB terbagi atas lantai 1 dan lantai 2 dengan keterangan sebagai berikut:
o    Lantai bawah
1.      Kelas Taman 1 (kelas latihan) dengan luas ruangan sekitar 5x6 meter dengan jumlah murid 15 anak. Kondisi ruang kelas cukup terang dengan 2 ventilasi yang memungkinkan anak merasa nyaman seperti di rumah sendiri. Selain itu ruang kelas juga dilengkapi dengan 2 kipas angin supaya udara tidak terlalu panas. Untuk ubin ruang kelas dibuat dengan pecahan keramik yang berbeda motif serta ukuran dan tentunya ini ada unsur mengenalkan seni kepada anak. Sarana lain yang ada di ruang kelas yaitu berupa meja-kursi guru, meja-kursi siswa, lemari kayu, papan tulis whiteboard lengkap dengan boardmarker dan penghapusnya, kotak berwarna-warni lengkap dengan alat permainan, tulisan-tulisan, gambar (buah, sayuran), foto keluarga, foto siswa sendiri yang disertai dengan nama yang disebut sebagai kartu identifikasi. Kartu ini sebagai media pengenalan diri sendiri dan orang disekitarnya karena anak tunarungu kesulitan dalam hal mengenal diri sendiri. Di depan kelas ini terdapat lemari yang cukup besar sebagai tempat properti drum band dan buku-buku pelajaran.
2.      Kelas Taman 2 dengan luas 5x6 meter dan  jumlah siswa 7 anak. Kondisi ruangan cukup terang dengan 2 ventilasi. Sarana yang ada di dalam ruang kelas yaitu meja-kursi melengkung, 3 papan tulis blackboard 1 dipasang di depan, 2 di samping dan belakang kelas masing-masing ukuran 2x1 meter, gambar dan tulisan, meja-kursi guru, kipas angin, dan lemari.
3.      Kelas sebelum Taman 1 (adik kelas) dengan luas ruangan 7x4 meter dan jumlah siswa 12 anak, 3 diantaranya tidak aktif. Kondisi ruangan agak gelap dan panas karena ventilasi hanya terdapat pada sisi atas sebelah utara. Sarana yang ada di kelas yaitu meja-kursi melengkung, papan tulis blackboard, gambar dan tulisan, meja-kursi guru, lemari, 1 kipas angin dan tongkat dari bambu (tuding: dalam bahasa jawa) yang dipakai guru dalam mengajar.
4.      Kelas Dasar 2 dengan luas 3x4 meter dan jumlah siswa 6 anak. Sarana yang ada di dalam ruangan yaitu meja-kursi melengkung, papan tulis blackboard lengkap, meja-kursi guru serta berbagai gambar dan tulisan. Kondisi kelas agak gelap jadi dibantu penerangan lampu neon.
5.      Kelas Dasar 1 dengan luas 5x4 meter dan jumlah siswa 8 anak. Kondisi kelas agak gelap karena ventilasi hanya terdapat pada dinding atas sisi sebelah timur saja. Sarana yang ada di dalam kelas yaitu meja-kursi melengkung, papan tulis blackboard, berbagai gambar dan tulisan.
6.      Kelas Taman 3 dengan ukuran 8x5 meter dan jumlah siswa 12 anak. Sarana yang ada di dalam kelas yaitu meja-kursi melengkung, meja-kursi guru, gambar dan tulisan, papan tulis blackboard, dan lemari.
7.       
o   Lantai atas
1.      Kelas Dasar 4 dengan ukuran 3x4 meter dan jumlah siswa 6 anak. Sarana yang ada di dalam kelas yaitu meja-kursi melengkung, meja-kursi guru, papan tulis blackboard lengkap, gambar-tulisan, 1 kipas angin, dan lemari. Kondisi ruangan cukup panas karena berada di lantai 2.
2.      Kelas Dasar 5 dan 6 dengan ukuran 3x4 dengan jumlah siswa 7 anak.
3.      Kelas dasar 3 dengan ukuran 3x4 dan jumlah siswa 7 anak.
4.      Kelas SMP yang hanya diisi oleh 2 siswa saja namun ruangannya cukup luas karena digabung dengan ruang musik dan BKBPI. Masih satu ruangan terdapat TV dan lemari. Ruangan ini juga biasa digunakan sebagai ruangan pembelajaran keagamaan (non muslim).
Selain ruang kelas, ruangan SLB lain yaitu sebagai berikut:
a.     Ruang artikulasi
Sebenarnya ruangan ini bukan ruangan artikulasi dan hanya berukuran 2x3 meter. Supaya memiliki fungsi lalu digunakan sebagai ruang artikulasi sementara. Di dalam ruangan ini dilengkapi dengan speech trainer, meja-kursi dan kipas angin. Di sisi sebelah barat ada ventilasi sehingga ruangan cukup terang.
b.     Ruang keterampilan
Ruangan ini digunakan untuk pembelajaran keterampilan siswa. Ukuran ruangan cukup luas dan terang.
c.     Ruang multifungsi (ruang tamu, kantor, kepsek)
Di dalam ruangan ini terdapat pajangan visi misi sekolah, denah, meja-kursi tamu, lemari dan komputer.
d.     Gudang dengan ukuran sekitar 3x3 meter. Di gudang terdapat sarana penimbang berat badan, ring basket, dan kasur pegas.
e.     UKS (lantai 2) ukurannya  sekitar 2x3 meter yang dilengkapi dengan 1 set tempat tidur.
f.        Dapur.
g.     Kamar mandi di lantai 1 dan lantai 2.
h.     Tempat wudhu di lantai 1.
i.         Aula

Ø  Kemampuan Guru
o   Anak tunarungu harus memiliki bahasa yang cukup. Artinya sebelum anak tunarungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan dikelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tunarungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tunarungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru.
o   Sekolah yang di dalamnya menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping yang berlatarbelakang PLB, lebih baik lagi jika guru pendamping tersebut berlatarbelakang dari sekolah luar biasa dengan bidang kajian yang sama dengan anak berkebutuhan khusus yang ada di kelas inklusi.
o   Guru regular hendaknya memahami karakteristik anak tunarungu serta sedapat mungkin mampu berempati terhadap anak tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah.
o   Guru regular mampu menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip kekonkritan.
o   Lingkungan di sekolah inklusi harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
o   Sarana dan prasarana yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus.

Ø  Materi Pengajaran
o   Keterarahwajahan
Dalam menyampaikan materi pembelajaran, guru harus berdiri di depan sehingga wajah guru khususnya mulut guru dapat dilihat oleh anak tunarungu tanpa terhalang apapun, sehingga anak tunarungu dapat memahami apa yang disampaikan oleh gurunya.Hindari memberikan penjelasan sambil berjalan baik di depan kelas maupun ke belakang kelas.Ketika berbicara dengan tunarungu harus berhadapan langsung (face to face) sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami dan pembelajaran dapat lebih dimengerti.
o   Keterarahsuaraan
Bagi anak tunarungu suara tidak perlu keras dan kencang, namun guru harus berbicara jelas dengan artikulasi yang tepat sehingga dapat dipahami oleh tunarungu. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan tidak sia-sia.
o   Intersubyektifitas
Dalam pembelajaran guru dan siswa tunarungu sebagai unsur yang penting harus dapat membangun suatu kesamaan dalam proses pengamatan, apa yang akan diucapkan oleh anak dengan perantara visualnya harus segera direspon dan dibahasakan kembali oleh guru.
o   Kekonkritan
Dalam memberikan pembelajaran kepada anak tunarungu harus konkrit hal ini dikarenakan anak tunarungu daya abstraksinya rendah dibandingkan anak mendengar karena minimnya bahasa yang dimiliki. Segala sesuatu yang diajarkan hendaknya disertai dengan contoh-contoh nyata dan yang mudah dipahami.
o   Visualisasi
Pendengaran anak tunarungu tidak dapat berfungsi maka melalui indera penglihatannya anak tunarungu berusaha memperoleh informasi, untuk itu semua pembelajaran yang diberikan oleh guru hendaknya dapat diilustrasikan dalam bentuk gambar yang bercerita tentang materi yang diberikan atau lebih dikenal dengan visualisasi yang berguna untuk memudahkan anak tunarungu mengerti akan maksud dan isi pembelajaran.
o   Keperagaan
Setiap kata yang keluar dari mulut guru hendaknya diulas lebih lanjut hingga anak tunarungu betul-betul paham maksud dari kata tersebut, kemudian memperagaan atau mempraktekkannya akan lebih memudahkan anak tunarungu untuk mengerti apa yang diajarkan serta upayakan semua pembelajaran yang dilakukan dapat diperagakan secara pengalaman oleh anak sehingga anak mudah memahami dan mengerti apa yang diajarkan guru.
o   Pengalaman yang menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi yang diterima, Mengajak anak tunarungu untuk “mengalami” secara nyata dapat memudahkan anak untuk mengerti akan hubungan-hubungan yang ada.
o   Belajar sambil melakukan
Pembelajaran hendaknya dapat bermakna bagi semua siswa tidak terkecuali bagi anak tunarungu, untuk itu segala sesuatu yang dipelajari harus dapat dipraktekkan dan dilakukan oleh anak tunarungu. Penggunaan strategi pembelajaran yang langsung melibatkan anak lebih bermanfaat dibandingkan anak hanya mendengarkan saja.

Ø  Cara Mengajar

Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.
1)     Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).

2)     Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3)     Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
*      Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.
*      Pendekatan Auditori verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
§  Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
§  Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
§  Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
§  Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
§  Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
§  Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
§  Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
§  Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
§  Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
§  Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).
*      Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
§  Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
§  Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
§  Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
§  Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.

Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.

Ø  Fasilitas
Secara umum, anak tunarungu memerlukan fasilitas pendidikan yang relatif sama dengan anak normal, seperti papan tulis, buku tulis pelajaran, penggaris, pensil, sarana bermain dan olahraga. Namun, karena anak tunarungu mempunyai hambatan dalam mendengar dan bicara, maka mereka memerlukan alat bantu khusus, antara lain audiometer, hearing aids, audiovisual, tape recorder, spatel, cermin, dan gambar-gambar.

o    Ruang Bina komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI)
1.      Ruang Bina Wicara berfungsi sebagai tempat latihan wicara perseorangan.
2.      Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/ atau SMPLB tunarungu memiliki minimum satu buah ruang Bina Wicara dengan luas minimum 4 m2.
3.      Ruang Bina Wicara dilengkapi dengan saran pendukung di dalamnya.

o    Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama
1.      Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama berfungsi sebagai tempat mengembangkan kemampuan memanfaatkan sisa pendengaran dan/atau perasaan vibrasi untuk menghayati bunyi dan rangsang getar di sekitarnya, serta mengembangkan kemampuan berbahasa khususnya bahasa irama.
2.      Sekolah yang melayani peserta didik SDLB dan/atau SMPLB tunarungu memiliki minimum satu buah ruang Bina Persepsi bunyi dan Irama yang dapat menampung satu rombongan belajar dengan luas minimum 30 m2.
3.      Ruang Bina Persepsi Bunyi dan Irama dilengkapi dengan sarana-prasarana pendukung.

o   Ruang keterampilan
1.      Ruang keterampilan berfungsi sebagai tempat kegiatan pembelajaran keterampilan sesuai dengan program keterampilan yang dipilih oleh tiap sekolah.
2.      Pada setiap sekolah yang menyelenggarakan jenjang pendidikan SMPLB dan/atau SMALB minimum terdapat dua ruang keterampilan. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan pembelajaran pada jenis keterampilan: keterampilan rekayasa, keterampilan jasa atau keterampilan perkantoran.
3.      Ruang keterampilan memiliki luas minimum 24 m2 dan lebar minimum 4 m.
4.    
Ruang keterampilan dilengkapi dengan sarana sesuai jenis keterampilan.

            MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI KELAS BAGI TUNAGRAHITA
Tuna Grahita/Cacat Ganda adalah kelainan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada mental intelektual (mental retardasi) sejak bayi / dalam kandungan atau masa bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh faktor organik biologis maupun faktor fungsional, adakalanya disertai dengan cacat fisik dengan ciri-ciri dan klasifikasi sebagai berikut.
Ciri ciri Tuna Grahita antara lain :
1.      Kecerdasan sangat terbatas.
2.      Ketidakmampuan sosial yaitu tidak mampu mengurus diri sendiri, sehingga selalu memerlukan bantuan orang lain.
3.      Keterbatasan minat.
4.      Daya ingat lemah.
5.      Emosi sangat labil.
6.      Apatis, acuh tak acuh terhadap sekitarnya.
7.      Kelainan badaniah khusus jenis mongoloid badan bungkuk, tampak tidak sehat, muka datar, telinga kecil, badan terlalu kecil, kepala terlalu besar, mulut melongo, mata sipit.
Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:
a.     Lemah pikiran (Feeble Minded)
b.     Terbelakang mental (Mentally Retarded)
c.     Bodoh atau dungu (Idiot)
d.     Pandir (Imbecile)
e.     Tolol (Moron)
f.        Oligofrenia (Oligophrenia)
g.     Mampu Didik (Educable)
h.     Mampu Latih (Trainable)
i.         Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat
j.         Mental Subnormal
k.      Defisit Mental
l.         Defisit Kognitif
m.   Cacat Mental
n.     Defisiensi Mental
o.     Gangguan Intelektual

Penyandang Tunagrahita dengan kondisi yang bervariasi perlu mereka dipandang potensi atau kemampuan secara individual. Pandangan itu berimplikasi untuk program bimbingan dalam rangka optimalisasi mereka juga menggunakan program individual. Program individual tersebut dalam pelaksanaan belajar di kelas menuntut pembimbing mampu mengatur atau memanaj agar supaya mereka belajar bersama-sama, namun kebutuhan individual tetap terpenuhi. Untuk itu, pembimbing perlu melaksanakan manajemen kelas di dalam proses bimbingan di kelas. Kemampuan proses membimbing di kelas merupakan mendorong siswa tunagrahita untuk belajar sesuai dengan program individual masing-masing, namun di antara berbagai program individual tersebut pembimbing mampu memadukan bersama-sama belajar di dalam kelas. Kemampuan itu meliputi perencanaan pembelajaran di kelas, penetapan materi, pemilihan metode, dan pengembangan cara evaluasi yang akan dilakukan di dalam kelas.
Komponen perencanaan pembelajaran yang mengikuti pendekatan sistem ialah komponen itu saling berinteraksi dan terkait, sehingga komponen satu dan lainnya saling mempengaruhi. Setiap komponen dapat dikembangkan menjadi subkomponen, sehingga perencanaan pembelajaran sering bervariasi.

1)     Tujuan
 Pada dasarnya tujuan yang perlu dikembangkan oleh pengajar adalah tujuan khusus. (TIK). Dalam langkah ini analisis kebutuhan siswa sangat menentukan untuk mampu dan tidaknya siswa mencapai tujuan yang dirancang. Hal ini sangat tergantung dari kemampuan awal serta kondisi hambatan mental. Rambu-rambu yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan tujuan khusus:
a.     Dirumuskan dalam batas-batas kemampun siswa untuk mencapainya, yaitu mencakup potensi dan keterbatasan siswa tunagrahita.
b.     Tujuan yang diprioritaskan untuk dicapai ialah kemampuan yang praktis dan fungsional.
c.     Tujuan harus sesuai dengan usia kronologis siswa.
d.     Tujuan harus dirumuskan dengan kata-kata operasional yang menggambarkan perilaku yang diinginkan secara spesifik, dengan berbagai kondisinya.
e.     Komponen ABCD (Audience, Behavior, Condition, dan Degree) dapat dipedomani dalam menyusun tujuan khusus.

2)    Materi
            Pokok-pokok materi yang akan diajarkan dapat diambil dari Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) atau silabus kurikulum sekolah yang bersangkutan. Namun pokok-pokok materi yang ada tersebut perlu dikembangkan dan diorganisasikan. Untuk melakukan hal ini, rambu-rambu berikut perlu dipedomani.
a.     Materi yang disajikan harus mendukung tercapainya tujuan khusus yang telah ditetapkan.
b.     Materi yang disajikan harus berada dalam batas-batas kemampuan siswa untuk mempelajarinya. Hal ini berkaitan langsung dengan potensi yang ada pada siswa berkebutuhan khusus, sesuai dengan kelainan yang disandangnya.
c.     Materi yang disajikan haruslah bermanfaat bagi kehidupan siswa.
d.     Materi harus disusun dari yang mudah ke yang sukar, yang sederhana ke yang kompleks, dan dari yang konkret ke yang abstrak.
Rambu-rambu di atas menekankan bahwa materi yang dikembangkan harus berpedoman pada layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Lynch dan Lewis via Wardani (1994: 7) menyusun urutan bidang pelayanan pendidikan sebagai berikut:
*      Pengembangan dalam kemampuan membaca, menulis, dan matematika.
*      Persiapan untuk menjadi warga negara/anggota masyarakat.
*      Pendidikan jasmani.
*      Pendidikan seni dan music
*      Pendidikan vokasional (keterampilan).
Jenis dan urutan pelayanan pendidikan tersebut akan dapat menjadi acuan dalam menentukan luas dan dalamnya materi yang akan disajikan. Setelah memilih dan mengembangkan materi, para calon guru perlu mengidentifikasi dan mengembangkan alat bantu belajar yang dapat dimanfaatkan. Alat bantu itu digunakan memudahkan siswa hambatan mental menguasai kemampuan yang ditargetkan. Alat bantu tersebut perlu juga bervariasi sesuai dengan tingkatan kategori siswa hambatan mental, hakikat materi, serta tujuan yang ingin dicapai. Rambu-rambu kerelevanan, baik dengan karakteristik siswa, usia kronologis, tujuan, maupun materi yang disajikan, di samping menarik dan mudah dikelola, hendaknya dijadikan pedoman pemilihan dan pengembangan alat bantu mengajar.
3)     Penataan kelas
a.     Pengkonsian saat sebelum mengajar
 Saat sebelum mengajar, guru perlu mengatur kondisi fisik, sosial, dan pengaturan berbagai komponen yang digunakan untuk proses pembelajaran. Pengaturan kondisi fisik terkait dengan tempat, tata ruang, tempat penyimpanan alat-alat pembelajaran, sirkulasi udara, serta pengaturan tempat duduk atau tempat kerja siswa yang memungkinkan bagi siswa menyimpang perilakunya dapat dicegah. Misalnya mengelompokkan pada siswa yang dapat bekerja sama, kemudian siswa yang hiperaktif diberikan tempat duduk tersendiri.
 Selanjutnya, dimensi sosial/personal yang perlu diatur adalah menentukan hubungan personal di antara siswa dan orang tua, guru, perkembangan personal siswa, dorongan pimpinan sekolah, dan hubungan siswa dengan teman kelompok sebaya yang dapat bermakna mempengaruhi dinamika proses pembelajaran.
Pengaturan berbagai komponen yang terkait dengan proses pembelajaran adalah cara guru mempersiapkan prosedure mengajar, pengelompokan kegiatan dan bahan, penahapan kegiatan, cara perekaman peristiwa mengajar dan perilaku siswa, mengelola tingkah laku siswa, dan mengelola waktu.
Persiapan dimensi materi instruksional juga merupakan dimensi yang perlu saat sebelum proses pembelajaran. Persiapan tersebut yang pokok pada proses ini yaitu tanggung jawab untuk kesepadanan antara kebutuhan siswa dengan kurikulum, materi instruksional, metode mengajar, dan penugasan-penugasan yang diberikan kepada siswa. Guru agar memperhatikan dan mengetahui kekuatan dan kelemahan siswa serta kesesuaian kondisi itu dengan perencanaan program yang disepakati.

b.     Pengkonsian saat proses mengajar
Pengkondisian suasana fisik, sosial, dan persiapan materi yang telah dilakukan sebelum proses mengajar selesai dan siap, selanjutnya dilakukan proses pembelajaran. Proses ini membutuhkan berbagai tindakan guru mengaktifkan siswa untuk berproses tahapan-tahapan belajar sampai siswa memiliki kemampuan yang diharapkan. Tindakan guru mengaktifkan siswa secara garis besar dikemukakan Tikunof, 1982 (Polloway & Patton, 1993: 20): “include clear communication of instructional demands, active engagement of students, continual monitoring of progress, and regular provisions for immediate feedback.” Maksud tindakan guru tersebut meliputi: pengkomunikasian secara jelas tugas-tugas belajar yang diperlukan, mengajak siswa untuk aktif, terus menerus memantau kemajuan, dan selalu umpan balik dengan segera. Berbagai tindakan itu perlu dilakukan guru saat proses mengajar dalam rangka ajakan ke siswa agar aktif melalui tahapan tugas belajar.
Saat proses mengajar perlunya guru menciptakan kondisi agar siswa melakukan tugas-tugas belajar. Tugas-tugas itu sebagai proses siswa memperoleh berbagai kemampuan atau kecakapan, dengan tahapan sebagai berikut: tahap perolehan, tahap ulangan, tahap kecakapan, tahap mempertahankan,tahap perluasan, dan tahap penyesuaian.

c.     Tindak lanjut sesudah mengajar
Pembelajaran bagi tunagrahita diperlukan suatu tindak lanjut sesudah proses belajar tahap tertentu pada mereka dicapai. Tindak lanjut ini supaya hasil yang telah dicapai ada kesinambungan dan ada upaya untuk memelihara (maintemance) ketercapaian hasil belajar. Tindak lanjut yang perlu dilakukan meliputi pengelolaan 10 data hasil belajar, komunikasi dengan orang tua, serta komunikasi dengan profesiprofesi lainnya yang terlibat di dalam kolaborasi penanganan para tunagrahita.
Pengelolaan data dan pembuat keputusan dalam praktek pengajaran yang efektif berkaitan dengan pengumpulan data dasar kurikululer yang diajarkan sebelumnya. Tindakan ini untuk merekam tahapan-tahapan kemajuan siswa atas kurikulum yang telah dirancang bagi mereka. Tanpa penggunaan rekaman kemajuan siswa, guru akan mendapatkan kesulitan untuk menentukan atau memutuskan suatu kelanjutan pada siswa tertentu. Selanjutnya, guru akan gagal untuk mengevaluasi secara efektif pengajarannya dengan resiko pembelajaran siswanya mengalami stagnasi (tidak ada kemajuan), atau malpraktek. Cara perekaman menggunakan entry data dengan secara manual atau komputeriasi untuk disajikan secara grafik.
Pengelolaan atau manajemen data juga untuk keperluan grading, interaksi dengan orang tua dan profesional lainnya yang terlibat secara kolaborasi. Keperluan grading untuk tujuan pengelompokkan siswa atas dasar performance atau karakteristik tertentu. Hal itu berguna untuk program-program yang diperlukan pada setiap tingkat/grade. Selanjutnya, hasil dari pembelajaran yang telah dikelola untuk dikomunikasikan dengan orang tua dan profesi lainnya. Komunikasi dengan orang tua agar kemampuan yang telah dicapai siswa di sekolah untuk ditindaklanjuti oleh orang tua di rumah, sedangkan hal-hal yang belum dapat dicapi perlu bantuan orang tua berperan memberikan intervensi agar ada intensitasnya.
 Komunikasi dengan profesi lainnya dalam rangka merujuk beberapa hambatan khusus yang guru tidak mampu melakukan intervensi. Para profesi itu di antaranya: para psikolog, para dokter spesialis yang terkait dengan hambatan anak, konselor, dan pekerja sosial yang mampu menghubungkan sumber-sumber belajar di masyarakat. Kolaborasi para profesi tersebut menentukan efektifitas pengajaran, karena hal-hal yang masih terhambat pada siswa dapat segera diatasi.

MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI KELAS BAGI TUNADAKSA
 Istilah tuna daksa berasal dari kata Tuna berarti cacat dan Daksa berarti tubuh. Tuna daksa  yaitu  kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh. Kelainan ini biasanya disebabkan oleh kerusakan otak (medula oblongata) dan saraf tulang belakang (medula spinalis). Penyebab kerusakan ini dapat berupa: (a) sebab-sebab sebelum lahir antara lain : terjadi infeksi penyakit, kelainan kandungan, kandungan radiasi, saat mengandung mengalami trauma (Kecelakaan).
(b) sebab-sebab pada saat kelahiran, antara lain : Proses kelahiran terlalu lama, Proses kelahiran yang mengalami kesulitan Pemakaian Anestasi yang melebihi ketentuan.  Dan (c) sebab-sebab setelah proses kelahiran, antara lain : Kecelakaan, lnfeksi penyakit, dan Ataxia.
            Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
            Karakteristik anak tuna daksa biasanya memiliki gangguan psikologis yang cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif serta memisahkan diri dari lingkungannya. Di samping karakteristik tersebut terdapat problema Anak tuna daksa antara lain, gangguan taktil.
Dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan bagi anak Tuna daksa, Guru mempunyai peranan ganda disamping sebagai pengajar, pendidik juga sebagai pelatih. Pelayanan terapi yang diperlukan anak tunadaksa antara lain : latihan bicara, fisioterapi, Occupational Therapy dan Hydro Therapy. Anak Tuna daksa pada dasarnya sama dengan anak normal lainnya, hanya dari aspek psikologi sosial mereka membutuhkan rasa aman dalam bermobilisasi dalam kehidupannya. Model layanan pendidikan bagi anak tunadaksa dibagi pada sekolah khusus dan sekolah terpadu atau inklusi:  Sekolah khusus diperuntuk bagi anak yang mempunyai problema yang lebih berat bagi intelektualnya maupun emosinya. Sekolah terpadu/inkulsi diperuntukkan bagi anak tuadaksa yang mempunyai problema ringan dan problema penyerta dan tidak disertai oleh problema retardasi mental.
Prinsip khusus pendidikan bagi anak tuna daksa terdiri dari prinsip multisensori dan prinsip individualisasi. Multisensori berarti banyak indera, maksudnya dalam proses pendidikan pada anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indera-indera yang ada dalam diri anak agar kesan pendidikan yang diterimanya lebih baik. Prinsip individualisasi berarti kemampuan masing-masing diri individu lebih dijadikan titik tolak dalam memberikan pendidikan pada mereka. Model layanannya dapat berbentuk individual dan klasikal pada individu yang cenderung memiliki kemampuan yang hampir sama, bahan pelajaran yang diberikan pada siswa sesuai dengan kemampuan masing-masing anak. Layanan pendidikan untuk anak Tunadaksa dapat dilakukan dengan pendekatan guru kelas, guru mata pelajaran/bidang studi, campuran dan pengajaran tim. Pembelajaran di sekolah idealnya sebagai berikut:
a.     Perencanaan kegiatan belajar mengajar: Program pendidikan yang diindividualisasikan
b.     Prinsip Pembelajaran: Prinsip multisensori dan prinsip individualisasi     
c.     Penataan Lingkungan Belajar: Bangunan gedung memprioritaskan tiga kemudahan: mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian.
d.     Personil: guru PLB, guru regular, dokter ahli anak, dokter ahli rehab medis, dokter ahli ortopedi, dokter ahli syaraf, psikolog, guru BP, social worker, fisioterapist, occupational therapist, speechterapist, orthotic dan prosthetic.
e.     Bimbingan Belajar: Anak Tunadaksa memerlukan bimbingan belajar membaca, menulis, dan berhitung. Ketiga kemampuan dasar ini perlu memperoleh layanan sedini mungkin sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak, manakala telah memasuki program sekolah dasar.
f.        Pembinaan Karier dan Pekerjaan: Untuk mempersiapkan masa depan anak, di sekolah perlu adanya pembinaan karier. Pengertian karier tidak dipandang hanya sebagai pekerjaan yang diberikan pada tamatan sekolah menengah atas, tetapi dibutuhkan oleh semua siswa sejak Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang TKLB dan SDLB materi pembahasannya adalah untuk memberikan pengertian dasar mengenai kemungkinan pekerjaan dalam hidup kelak dan memberikan kesadaran bahwa sekolah memberi kesempatan untuk bereksplorasi dalam mempersiapkan kehidupan kelak. Sedangkan pada tingkatan yang lebih tinggi selain melanjutkan materi tersebut telah diarahkan pada prevokasional maupun vokasional. Pembinaan karier dan pekerjaan dimulai dari kegiatan assesment karir dan pekerjaan agar dapat menyusun program pembinaan karir dan vokasional yang sesuai dengan kondisi kemampuan dan kecacatan anak tunadaksa. Berkaitan dengan penyusunan program, Philip (1986) mengemukakan bahwa program yang disusun harus berbentuk IEP (Individualized Educational Program) yang mempunyai ciri-ciri sasaran untuk remidi bila siswa mengalami kesulitan dalam membaca formulir pekerjaan, berkomunikasi dengan menggunakan telepon, penggunaan uang dalam pekerjaan, dan lain-lain. Salah satu contoh pogram IEP adalah pengembangan motorik halus untuk pekerjaan menjahit, pertanaman, mengatur makanan, dan lain-lain. Alur pembinaan karier dan pekerjaan dapat disajikan seperti berikut:
Assesment → pemograman → proses → evaluasi → daya guna/tepat guna.
MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI KELAS BAGI TUNALARAS
Penyelenggaraan pendidikan anak tuna laras/sosial sebagai berikut:
1.      Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler. Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka mendapat perhatian dan layanan khusus.
2.      Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
3.      Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kata kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
4.      Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.
Solusi dari permasalahan
1.      Melakukan modofiksi pembelajaran
Modifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh para guru agar proses pembelajaran dapat mencerminkan DAP (Developentally Appropriate Practice). Artinya bahwa tugas ajar yang disampaikan harus memerhatikan perubahan kemampuan atau kondisi anak, dan dapat membantu mendorong kea rah perubahan tersebut.
Dalam pembelajaran penjas adaptif untuk penyandang tuna laras, ada beberapa hal yang bisa dimodifikasi, antara lain: sarana dan prasarana, peraturan, dan media pembelajaran. Khusus untuk pembelajaran penjas adaptif, tidak hanya dituntut PAIKEM (Pembelajran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) saja. Namun, dibutuhkan juga sikap, bimbingan dan pengawasan khusus terhadap para ABK itu agar dapat tercapai maksud dan tujuan pendidikan jasmani adaptif ini.

2.      Memberikan pembelajaran dengan metode inklusi
Banyak yang beranggapan bahwa pendidikan inklusi diperuntukkan khusus bagi murid-murid yang memiliki keterlambatan bahkan secara lugas masih beranggapan bahwa pendidikan inklusi hanya untuk anak yang memiliki keterbelakangan dalam segala hal. Orang tua murid pun merasa khawatir tatkala anaknya harus belajar di kelas yang di dalamnya ada anak yang mengikuti program inklusi.
Kalau kita simak dengan seksama tentang pendidikan inklusi justru sangat unggul, betapa tidak karena ada di dalamnya sebuah layanan prima seperti yang terdapat dalam landasan dan komponen pendidikan antara lain sebagai berikut ( Drs Mulyono, M Pd, Pengembangan Pendidikan Inklusi di Jawa Tengah):

3.      Macam-Macam bimbingan yang harus di terapkan tenaga pengajar
a.     Membina rasa Ketuhanan dan budi pekerti
Membina rasa Ketuhanan hakekatnya berbicara masalah kualitas keimanan. Cara membina rasa Ketuhanan anak gangguan emosi dan tingkah laku antara lain dimulai dengan menanamkan nilai dan norma iman, karena keimanan mengandung nilai dan norma Ketuhanan.Hal ini dimaksudkan agar dapat menjadi perisai dari agresi kejahatan, materi dan keputusasaan anak dalam hidup. Sifat mudah marah, emosional, agresif, merusak dan mengganggu orang lain disebabkan karena lemahnya kadar keimanan seseorang. Sehingga ia tidak ada rasa takut atas resiko kerugian yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Caranya :
*      Tanamkan pengertian melalui contoh-contoh kongrit sederhana bahwa perbuatan melanggar norma agama membuahkan dosa dan akan mendapatkan siksa.
*      Sebaliknya kepada anak juga perlu ditanamkan pengertian bahwa perbuatan baik dan terpuji sesuai norma agama membuahkan pahala dan akan mendapatkan imbalan dari Tuhannya.
*      Berikan contoh-contoh kegiatan yang dapat menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam kehidupan keagamaan yang praktis dan fungsional.
Bimbingan budi pekerti pada anak gangguan emosi dan sosial dimaksudkan agar anak menjadi manusia yang berbudi luhur, sopan santun, andap asor, jujur, disiplin, dan memiliki rasa setia kawan. Bentuk bimbingan budi pekerti antara lain :
*      Menanamkan sikap sopan santun
*      Menganjurkan berpakaian rapi dan bersih
*      Petunjuk menghindari perkelaian
*      Menanamkan sikap patuh pada tata tertib keluarga dan sekolah
*      Memperbanyak mengkaitkan materi pelajaran dengan nilai keagamaan
*      Bimbingan waktu luang

b.     Membina konsep diri dan pengenalan diri
Anak tunalaras hidup dalam lingkungan sosial, ia berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Konsep dan pemahaman diri sangat diwarnai oleh hasil dari komunikasi sosial, sehingga pada diri anak dapat timbul penilaian atas dirinya, baik penilaian diri sebagai subyek maupun dirinya sebagai obyek. Untuk dapat mendudukkan diri sebagai subyek dan sebagai obyek biasanya bertolak dari persepsi diri terhadap kondisi fisik diri, kondisi psikis diri, dan kondisi sosial diri.
Konsep diri positif biasanya dilandasi oleh :
*      Pada diri anak telah mengalami nilai dan prinsip tertentu
*      Dapat menyesali tindakan sendiri yang ternyata salah (dapat merugikan diri dan orang lain) dan bersedia memperbaikinya
*      Tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu dengan kecemasan
*      Memiliki keyakinan pad kemampuan diri untuk mengatasi persoalan (kegagalan, kelainan) sambil bertawakkal pada kepastian illahi
*      Merasa setara dengan orang lain dan hanya nilai taqwa yang bisa membedakannya
Sedang persepsi negatif biasanya dilandasi oleh adanya ketidaktahanan dalam menerima kritik atas dirinya, ejekan, sangat responsif terhadap pujian, merasa tidak diperhatikan oleh orang lain.
Stuart & Sundeen (1991) mendeskripsikan konsep diri yang terdiri atas gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran, dan identitas diri. Seseorang yang memiliki kepribadian yang sehat biasanya dilandasi oleh gambaran diri yang positif dan akurat, ideal diri realistik, konsep diri positif, harga diri yang tinggi, adanya kepuasan penampilan peran serta adanya identitas diri yang jelas.
c.     Membina emosi/perasaan dan sikap social
Perasaan sosial akan mempengaruhi sikap sosial seseorang. Perasaan sosial yang altrimistis, egoistis, maupun individualis sama-sama tidak baik pengaruhnya terhadap pembentukan sikap sosial. Adanya sikap sosial yang antipati dan antipati juga tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian seseorang. Anak-anak tunalaras perlu dibina perasaan sosial dan sikap sosial yang positif.
Paling tidak ada 2 aspek yang perlu ditanamkan kepada mereka yaitu :
1)     Kemampuan mengadakan relasi sosial, seperti :
·         Kemampuan bergaul
·         Bekerjasama dengan orang lain
·         Dimilikinya peran sosial yang sesuai dan jelas
·         Kemampuan mengadakan penyesuaian social
2)     Kemampuan mengadakan integrasi social
Hasil akhir dari pembinaan perasaan sosial dan sikap sosial adalah anak dapat bergaul dan bekerjasama dengan orang lain dalam kelompok, yahu akan perannya dan dapat menyesuaikan diri dengan peran tersebut, dapat memahami tugas dan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, dapat memahami batas-batas dari perilakunya, dapat menyesuaikan dengan lingkungan sosial, etika pergaulan, agama dan tidak memisahkan diri, tidak rendah diri dan tidak berlebihan serta mampu bergaul secara wajar dengan lingkungannya.

d.     Membina kehendak
Kehendak adalah dorongan/kekuatan dari dalam untuk berbuat guna mancapai sesuatu yang dikehendaki daan menghindrai sesuatu yang tidak dikehendaki. Kemauan adalah kehendak yang berhubungan dengan kerokhanian.
*      Membina kebiasaan
Kebiasaan yang sudah berlangsung lama dapat mewarnai kepribadian seseorang. Namun, anak tunalaras perlu dilatih segala aktivitas yang positif dan konstruktif agar apabila anak sanggup mengerjakannya berulang-ulang dapat membentuk kepribadian yang baik. Misalnya kebiasaan hidup tertib, aktif beraktivitas, hidup bersih, hidup sehat, rajin belajar.
*      Membina nafsu
Nafsu merupakan dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Nafsu ada beberapa macam yaitu nafsu amarah (penggerak), nafsu musawwilah (penipu diri), nafsu lawwamah (penimbang), nafsu muthmainnah (ketenangan/kesadaran). Dengan memahami nilai dan norma agama, maka nafsu yang cenderung mendorong orang berbuat negatif dan jahat dapat dicegah dan melahirkan nafsu muthmainnah.
*      Membina kecenderungan/kegemaran/hobby
Kecenderungan/kegemaran/hobby adalah suatu dorongan yang datangnya relatif selalu timbul. Cara membina kecenderungan/kegemaran.hobby antara lain dengan cara mengarahkan pada aktivitas yang positif dan tidak bertentangan dengan nilai dan norma di masyarakat.
*      Membina kemauan
Kemauan merupakan tenaga jiwa yang memberi ketetapan untuk menepati atau melaksanakan keputusan bathin. Membina kemauan anak tunalaras adalah melalui menyalurkan kemauan itu ke kegiatan yang positif, berikan hadiah dan hukuman yang sesuai, biasakan berbuat baik guna membentuk kata hatinya. Kemauan pada hakekatnya dapat dididik, oleh karena itu ada seloka sebagai berikut :
·         Keputusan bathin akan dapat disepakati, kalau kemauan kuat
·         Kemauan dapat kuat, kalau motif kuat
·         Motif dapat kuat kalau berdasar keyakinan.

4.      Fasilitas pendidikan untuk anak tunalaras
Fasilitas pendidikan untuk anak tunalaras relatif sama dengan fasilitas pendidikan untuk anak normal pada umumnya. Fasilitas ruangan kelas tidak menggunakan benda-benda kecil yang terbuat dari bahan yang keras, sehingga mempermudah mereka untuk mengambil dan melemparnya. Fasilitas lain lebih berkaitan dengan ruangan terapi dan sarana terapi. Terapi tesebut meliputi :
*      Ruangan fisioterapi dan peralatannya, yaitu peralatan yang lebih diarahkan pada upaya peregangan otot dan sendi, danpembentukan otot, misalnya: barbel, box tinju, dan sebagainya.
*      Ruangan terapi bermain dan peralatannya, yaitu peralatan yang lebih diarahkan pada model terapi sublimasi dan latihan pengendalian diri. Misalnya puzzle dan boneka .
*      Ruangan terapi okupsi dan peralatannya, yaitu peralatan yang lebih diarahkan pada pembentukan keterampilan kerja dan pengisian pengisian waktu luang sesuai dengan kondisi anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar